Dibalik
Kematian Lukman
Sebuah pisau
dapur berukuran 30 cm, masih menancap di perut Lukman. Lukman terkapar lemas tak
berdaya. Komputer diruang kerja masih menyala; tiga pion berwarna putih sedang
mengepung raja hitam. Lukman terbunuh sebelum ia selesaikan permainan caturnya.
Begitu ahli forensik mengatakannya padaku.
aku adalah orang
pertama yang mengetahui kejadian itu. Di depan polisi kukatakan kronologinya;
Malam itu, Aku keluar untuk beli rokok. Kebetulan jarak rumahku dan Lukman
tidak jauh, hanya beberapa meter saja. Tanpa sengaja, aku melihat pintu rumah
Lukman terbuka, awalnya aku berfikir sepeleh. Mungkin Lukman sedang ada tamu.
Jadi aku hanya melihat dan tetap berjalan ke kedai rokok. sesampainya di kedai
rokok itu tiba-tiba aku pingin ngopi. Jadi aku berhenti sedikit lama. Dan
setelah kembali dari kedai rokok, rumah Lukman masih tetap terbuka. Seketika
itu Aku langsung masuk dan yang terjadi adalah lukman sudah terkapar dengan
pisau dan yaampun. Darahnya banyak.
Melihat kondisi
Lukman yang demikian itu, aku langsung teriak. Tanpa kusadari, teriakanku itu
menggiring warga kerumah Lukman. Aku ingin langsung membawanya ke rumah sakit.
Tapi beberapa warga melarang. Alasanya menunggu polisi datang.
Tak lama, polisipun
datang, orang ke dua yang kuhubungi adalah Santi, pacar Lukman. tak lama, Santi
pun datang. Sayangnya, mobil ambulan lebih dulu membawa Lukman sebelum Santi
mendahuluinya. Selain police line,
mobil polisi, kerumunan warga juga memagari rumah Lukman. Dan ditengah
perjalanan ke rumah sakit, Lukman menghembuskan nafas terakhirnya.
Ahli forensik
terus mencari tahu, siapa pelakunya, dan apa motif pembunuhan terhadap Lukman?
Tidak ada satupun barang yang diambil oleh si pembunuh. Ahli forensik yakin
bahwa motifnya jelas bukan perampokan. Lalu apa?
Beberapa berkas
berserakan dikamarnya. Tak ada benda mencurigakan yang polisi temukan, hanya butung
rokok kretek yang masih hangat tergeletak dilantai, terletak sejengkal dari
tubuh Lukman. Dugaan bahwa bekas rokok itu adalah milik pembunuh Lukman
bertambah kuat ketika Santi, pacar Lukman menolak itu rokok bekas Lukman
“Lukman hanya mengkonsumsi rokok mild” singkatnya.
Di bekas rokok
itu juga tidak ditemukan sidik jari siapapun. Artinya pelaku memakai sarung
tangan saat merokok. Tidak ada tanda-tanda. Tidak ada jejak. Bersih. Rapi. Ahli
forensik dan polisi semakin bingung. Semakin penasaran. Apa motif pembunuhan
ini?
Melaluiku dan
Sinta, polisi mencari tahu siapa sebenarnya Lukman dan bagaimana kegiatan
sehari-harinya ?
Di depan polisi,
Aku mengatakan semuanya. Tentang Aku, Lukman dan Sinta juga tentang kesibukan
masing-masing.
Namaku Salim.
Aku dan Lukman adalah mahasiswa salah satu Universitas Negeri di Surabaya. kami
sama-sama semester 7, sama-sama dari satu desa. kami berteman baik. Sejak kecil
kami hidup bersama. Bukan saudara kandung tapi sahabat sejak kecil. Sejak SD
kami bersama. Bahkan ketika pertama kali datang ke surabaya—mencari tempat kos
saja—kami bersama-sama.
Tapi itu tidak
berlangsung seterusnya, menginjak semester 5, kami enggan bersama. Aku sibuk
kerja, Lukman sibuk dengan organisasinya di kampus.
Lalu aku
memperkenalkan Sinta.
Sinta mengenal
Lukman baru satu tahun yang lalu. Tepatnya satu tahun dua bulan.
Silahkan di
lanjutkan Sint? Pintaku ke Sinta.
Sinta hanya
menganggukkan kepala dengan tersendak-sendak; Aku mengenalnya sepulang dari
seminar. Siang, waktu itu, Lukman menjadi moderator dalam sebuah seminar
pendidikan yang diadakan oleh jurusan. Aku salah satu audiennya. Setelah seminar
selesai, Lukman menawariku tumpangan ke kos. Aku pun bersedia. Sebelum
mengantarku ke kos, Lukman mengajakku untuk makan. Ya. Akupun meng-iyakan
ajakannya.
Entah bagaimana
awalnya, dua minggu setelah pertemuan itu. Lukman mengatakan bahwa dia
mencintaiku. Dan jujur aku juga merasakan hal yang sama. Akhirnya, di minggu ke
tiga, kitapun jadian. Sikap sopannya itu yang membuatku suka. Meski tak jarang
teman-temanku mengejekku hanya karena suatu ketika melihatku bersama Lukman sedang makan di warung kecil, tepat di pinggir
jalan. Memang apa salahnya makan di warung pinggir jalan? Toh juga nasi kan
yang dimakan. Maklum, teman-temannku Hight
class.
Sinta
menghentikan ceritanya. Iya tak kuasa membendung air matanya.
Apa Lukman tidak
punya musuh di kampus? Sahut polisi padaku
Tidak. Lukman
sangat ramah. Kepada siapapun dia sangat ramah. Karena keramahannya itulah,
banyak teman-teman yang menyukainya. Selain itu, lukman juga pendiam. Tak
pernah iya berbicara kalau itu dianggapnya tak penting.
Sinta juga
menambahi; dulu pernah ada seorang mahasiswa yang tidak suka kepada Lukman.
Gara-gara masalah saingan dalam pemilihan umum ketua BEM. Tapi itu dulu waktu
semester dua. Dan semester tiga mereka sudah berteman baik lagi.
“kami butuh
keterangan lebih banyak tentang Lukman, besok kami akan mulai usut kasus ini,
jika menemui orang mencurigakan, segera hubungi kami” tegas polisi lalu meninggalkan
kami.
Keesokan
harinya, Lukman dimakamkan di pemakaman umum. seluruh warga dan juga
teman-teman Lukman datang untuk turut mengantar kepergiannya. Bersama kesedihan,
terlipat hasrat untuk menghabisi nyawa pembunuh Lukman. Semua seakan mengutuk
pembunuhnya.
Mendung tipis
bergelayut di pelipis mata, mendung yang kian menebal bersama jatuhnya air mata.
Taburan bunga menghentikan keceriaan kami, mengundang luka yang teramat dalam.
Luka yang sulit sembuh bagi Sinta.
Satu persatu meninggalkan
makam. Tersisa Aku dan Sinta. Tak tega melihat air matanya keluar begitu deras,
kusuruh ia untuk berdiri dan meninggalkan makam. Tapi sinta tidak mau. Aku
memaksa. Sinta masih tetap tidak mau.
***
Hari ini adalah
tahun ke dua pasca meninggalnya Lukman. biasanya setiap minggu aku selalu
ziarah ke makamnya. Sesibuk apapun, aku tetap menyempatkan waktu untuk datang. Menaburkan
bunga. Membasuh nisannya dengan air kendi. Kalau teringat Lukman, aku sering
menangis. Bukan bersedih tapi menyesal. Menyesal karena telah menancapkan
sebuah pisau di perutnya. Ya. Aku telah membunuh Lukman, sahabatku sendiri.
Aku menyesal.
Kenapa aku bisa membunuhnya? Padahal masih banyak gadis lain yang lebih cantik
dari Sinta. Tapi, kenapa juga Lukman menyukai Sinta?
No comments:
Post a Comment