Monday 7 December 2015

cerpen-di balik kematian lukman

Dibalik Kematian Lukman
Sebuah pisau dapur berukuran 30 cm, masih menancap di perut Lukman. Lukman terkapar lemas tak berdaya. Komputer diruang kerja masih menyala; tiga pion berwarna putih sedang mengepung raja hitam. Lukman terbunuh sebelum ia selesaikan permainan caturnya. Begitu ahli forensik mengatakannya padaku.
aku adalah orang pertama yang mengetahui kejadian itu. Di depan polisi kukatakan kronologinya; Malam itu, Aku keluar untuk beli rokok. Kebetulan jarak rumahku dan Lukman tidak jauh, hanya beberapa meter saja. Tanpa sengaja, aku melihat pintu rumah Lukman terbuka, awalnya aku berfikir sepeleh. Mungkin Lukman sedang ada tamu. Jadi aku hanya melihat dan tetap berjalan ke kedai rokok. sesampainya di kedai rokok itu tiba-tiba aku pingin ngopi. Jadi aku berhenti sedikit lama. Dan setelah kembali dari kedai rokok, rumah Lukman masih tetap terbuka. Seketika itu Aku langsung masuk dan yang terjadi adalah lukman sudah terkapar dengan pisau dan yaampun. Darahnya banyak.
Melihat kondisi Lukman yang demikian itu, aku langsung teriak. Tanpa kusadari, teriakanku itu menggiring warga kerumah Lukman. Aku ingin langsung membawanya ke rumah sakit. Tapi beberapa warga melarang. Alasanya menunggu polisi datang.
Tak lama, polisipun datang, orang ke dua yang kuhubungi adalah Santi, pacar Lukman. tak lama, Santi pun datang. Sayangnya, mobil ambulan lebih dulu membawa Lukman sebelum Santi mendahuluinya. Selain police line, mobil polisi, kerumunan warga juga memagari rumah Lukman. Dan ditengah perjalanan ke rumah sakit, Lukman menghembuskan nafas terakhirnya.
Ahli forensik terus mencari tahu, siapa pelakunya, dan apa motif pembunuhan terhadap Lukman? Tidak ada satupun barang yang diambil oleh si pembunuh. Ahli forensik yakin bahwa motifnya jelas bukan perampokan. Lalu apa?
Beberapa berkas berserakan dikamarnya. Tak ada benda mencurigakan yang polisi temukan, hanya butung rokok kretek yang masih hangat tergeletak dilantai, terletak sejengkal dari tubuh Lukman. Dugaan bahwa bekas rokok itu adalah milik pembunuh Lukman bertambah kuat ketika Santi, pacar Lukman menolak itu rokok bekas Lukman “Lukman hanya mengkonsumsi rokok mild” singkatnya.
Di bekas rokok itu juga tidak ditemukan sidik jari siapapun. Artinya pelaku memakai sarung tangan saat merokok. Tidak ada tanda-tanda. Tidak ada jejak. Bersih. Rapi. Ahli forensik dan polisi semakin bingung. Semakin penasaran. Apa motif pembunuhan ini?
Melaluiku dan Sinta, polisi mencari tahu siapa sebenarnya Lukman dan bagaimana kegiatan sehari-harinya ?
Di depan polisi, Aku mengatakan semuanya. Tentang Aku, Lukman dan Sinta juga tentang kesibukan masing-masing.
Namaku Salim. Aku dan Lukman adalah mahasiswa salah satu Universitas Negeri di Surabaya. kami sama-sama semester 7, sama-sama dari satu desa. kami berteman baik. Sejak kecil kami hidup bersama. Bukan saudara kandung tapi sahabat sejak kecil. Sejak SD kami bersama. Bahkan ketika pertama kali datang ke surabaya—mencari tempat kos saja—kami bersama-sama.
Tapi itu tidak berlangsung seterusnya, menginjak semester 5, kami enggan bersama. Aku sibuk kerja, Lukman sibuk dengan organisasinya di kampus.
Lalu aku memperkenalkan Sinta.
Sinta mengenal Lukman baru satu tahun yang lalu. Tepatnya satu tahun dua bulan.
Silahkan di lanjutkan Sint? Pintaku ke Sinta.
Sinta hanya menganggukkan kepala dengan tersendak-sendak; Aku mengenalnya sepulang dari seminar. Siang, waktu itu, Lukman menjadi moderator dalam sebuah seminar pendidikan yang diadakan oleh jurusan. Aku salah satu audiennya. Setelah seminar selesai, Lukman menawariku tumpangan ke kos. Aku pun bersedia. Sebelum mengantarku ke kos, Lukman mengajakku untuk makan. Ya. Akupun meng-iyakan ajakannya.
Entah bagaimana awalnya, dua minggu setelah pertemuan itu. Lukman mengatakan bahwa dia mencintaiku. Dan jujur aku juga merasakan hal yang sama. Akhirnya, di minggu ke tiga, kitapun jadian. Sikap sopannya itu yang membuatku suka. Meski tak jarang teman-temanku mengejekku hanya karena suatu ketika melihatku bersama Lukman sedang makan di warung kecil, tepat di pinggir jalan. Memang apa salahnya makan di warung pinggir jalan? Toh juga nasi kan yang dimakan. Maklum, teman-temannku Hight class.
Sinta menghentikan ceritanya. Iya tak kuasa membendung air matanya.
Apa Lukman tidak punya musuh di kampus? Sahut polisi padaku
Tidak. Lukman sangat ramah. Kepada siapapun dia sangat ramah. Karena keramahannya itulah, banyak teman-teman yang menyukainya. Selain itu, lukman juga pendiam. Tak pernah iya berbicara kalau itu dianggapnya tak penting.
Sinta juga menambahi; dulu pernah ada seorang mahasiswa yang tidak suka kepada Lukman. Gara-gara masalah saingan dalam pemilihan umum ketua BEM. Tapi itu dulu waktu semester dua. Dan semester tiga mereka sudah berteman baik lagi.
“kami butuh keterangan lebih banyak tentang Lukman, besok kami akan mulai usut kasus ini, jika menemui orang mencurigakan, segera hubungi kami” tegas polisi lalu meninggalkan kami.
Keesokan harinya, Lukman dimakamkan di pemakaman umum. seluruh warga dan juga teman-teman Lukman datang untuk turut mengantar kepergiannya. Bersama kesedihan, terlipat hasrat untuk menghabisi nyawa pembunuh Lukman. Semua seakan mengutuk pembunuhnya.
Mendung tipis bergelayut di pelipis mata, mendung yang kian menebal bersama jatuhnya air mata. Taburan bunga menghentikan keceriaan kami, mengundang luka yang teramat dalam. Luka yang sulit sembuh bagi Sinta.
Satu persatu meninggalkan makam. Tersisa Aku dan Sinta. Tak tega melihat air matanya keluar begitu deras, kusuruh ia untuk berdiri dan meninggalkan makam. Tapi sinta tidak mau. Aku memaksa. Sinta masih tetap tidak mau.
***
Hari ini adalah tahun ke dua pasca meninggalnya Lukman. biasanya setiap minggu aku selalu ziarah ke makamnya. Sesibuk apapun, aku tetap menyempatkan waktu untuk datang. Menaburkan bunga. Membasuh nisannya dengan air kendi. Kalau teringat Lukman, aku sering menangis. Bukan bersedih tapi menyesal. Menyesal karena telah menancapkan sebuah pisau di perutnya. Ya. Aku telah membunuh Lukman, sahabatku sendiri.
Aku menyesal. Kenapa aku bisa membunuhnya? Padahal masih banyak gadis lain yang lebih cantik dari Sinta. Tapi, kenapa juga Lukman menyukai Sinta?

No comments: